REALITA DUNIA YANG BERBICARA
Sebagai seorang biarawan dan calon imam dalam tarekat
Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC), ada rupa-rupa pengalaman hidup yang saya
alami. Salah satu pengalaman yang masih membekas yakni ketika menjalani
pembinaan sebagai seorang Novis di Novisiat MSC Sananta Sela
Karanganyar-Kebumen Jawa Tengah. Saya seolah diterobos mesin waktu dan melihat
eksistensiku pagi itu (Senin 11 Maret 2019) dengan jalan raya yang tampak sepi
dengan sebuah ruko yang ada disampingnya menjadi saksi di mana kami memulai
petualangan, yakni mengikuti eksposure dan
peregrinasi. Eksposure adalah sebuah proses observasi atau pengamatan terhadap
realitas dunia saat ini dan peregrinasi adalah
proses perjalanan ziarah atau berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kami diberi Rp 25.00,- dan sebungkus roti untuk tiga orang sebagai bekal
perjalanan selama lima hari. Kami dilepas begitu saja dan berjalan bak turis
lokal hehehe… Saya dan kedua teman sepakat untuk berjalan mencari tempat eksposure yakni daerah Wirobrajan,
Yogyakarta. Tempat yang masih asing bagi kami bertiga.
Fr. Silvio Resubun MSC
Petualangan dimulai
Tidak jauh dari tempat kami diturunkan, ada sebuah
angkringan tempat seorang ibu yang sementara menjual barang dagangannya. Kami
mampir di situ dan mulai bertanya kepada sang Ibu. “Permisi Bu Wirobrajan di
sebelah mana yah.?, “oh masih jauh mas. Mau jalan kaki.?” Tanya sang ibu dengan
logat Jawanya. “Ngih” jawabku sambil
tersenyum. Ya dugaanku salah, tempat kami diturunkan bukanlah daerah
Wirobrajadan dan karena itu kami harus berjalan mencari daerah tersebut. “Tak
apalah I have been ready (saya sudah
siap). Siap untuk memulai petualangan ini”. Kataku dalam hati sembari
memotivasi diri untuk melakukan perjalanan ini. Jalan raya yang kami lalui
sudah mulai ramai dibanjiri oleh kendaraan roda dua dan empat yang berlalu
lalang. Para penghuni dunia mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing,
sementara kami masih mencari pembuktian akan realita dunia yang penuh dengan
misteri ini. Dalam perjalanan saya mulai melihat dan mengamati lingkungan
sekitar yang semakin ramai dengan hiruk pikuknya.
Sebelum ke tempat eksposure¸kami sepakat untuk pergi ke
arah utara yakni Malioboro yang kebetulan tidak jauh dari hadapan kami. Saya
sangat menikmati perjalanan ini, sambil mengagumi daereh istimewanya Indonesia
ini. Berhubung karena kami adalah new
comers di tempat ini, maka kami sepakat pergi ke Tugu Jogja. Salah satu
ikon dari kota Jogja. Dalam perjalanan saya mulai mengamati dan menanggapi
realitas lewat potret yang kudapati melalui obyek-obyek sejauh mata memandang
dan kaki melangkah. Ada begitu banyak obyek, hal menarik, memprihatinkan,
meneguhkan dicampur aduk dan begitu bergejolak di kedalaman diri. Realitas
zaman now yang kujumpai di mana
orang-orang sibuk dengan dunianya sendiri dan seakan esensi manusia sebagai
makhluk monodualistis tak lagi disadari dan dihayati. Style busana yang semakin membudidayakan budaya egoisme. Sedangkan
budaya solider untuk saling mengulurkan tangan bagi yang membuka tangan mulai
merosot dan hanya bisa dihidupi oleh segelintir orang yang masih punya semangat
dan yang masih punya hati yang terbuka dan tergerak. Matahari semakin
memancarkan pesonanya dan tak menghiraukan kami sebagai pejalan kaki.
Pohon-pohon besar di sepanjang jalan sudah malas untuk menari. Raga ini sudah
mulai meronta-ronta akibat dihantam oleh teriknya matahari. Kami sepakat untuk
beristirahat sambil melepas dahaga dengan air mineral persedian yang hampir
habis. Setelah beristirahat kami mulai beranjak ke tempat eksposure yakni Wirobrajan.
Sentuhan pengalaman yang memberikan warna
Perjalanan menelusuri Wirobrajan masih kami lakoni
dengan tenaga yang masih tersisa. Berbekal tas ransel di bahu dan di tambah
lagi kami adalah orang baru di situ menimbulkan
kecurigaan dan tatapan sinis dari orang-orang sekitar. Penolakan demi penolakan
kami terima ketika kami mencoba untuk ‘mengemis’ air untuk sekedar membasahi
tenggorokan. Tibalah kami di sebuah rumah untuk meminta air. Seorang ibu keluar
dari rumahnya lalu memandang kami dengan sinis dan berkata, “untuk apa mas? Mau
buat apa.? Pergi sana….!” Kata-kata sang ibu membuat saya seperti ditendang
jauh-jauh dari dunia ini. Saya hanya diam dan berkata dalam hati. Oh Tuhan saya
sekarang benar-benar menjadi pengikut-Mu yang dicurigai, tak dianggap dan
bahkan ditolak. Pengalaman ini tidak membuat saya sedih apalagi menyerah,
melainkan membuat saya lebih tegar untuk menerima segala sesuatu yang terjadi.
Percaya akan penyelenggaraan Ilahi
Tibalah kami di sebuah keluarga yang secara kebetulan
sedang mencari karyawan untuk bekerja di pabrik mebel, yang kemudian saya tahu
namanya yaitu Aquiva Gallery. Pak Leo sang manager
menerima kami bertiga bekerja di situ. “Langsung saja mas gabung dengan yang
lain”. Kata Pak Leo yang menyadarkan saya dari ketidakpercayaan bahwa kami
diterima bekerja di pabrik tersebut. Hal pertama yang kami sesuaikan dengan
para karyawan di situ adalah soal bahasa yang mereka gunakan ialah bahasa Jawa mentah-mentah. “Iki lho mas neg kene bla..bla”. “Masyah Allah ora ngerti aku”. Ya tapi syukurlah kami dapat bekerja sama dengan
baik.
Saya sungguh tersentuh akan pengalam ketika bekerja bersama mereka. Kujumpai para karyawan penuh semangat bekerja siang malam hanya utuk memenuhi kebutuhan hidup. Demi sesuap nasi dan simpati dari upah yang mereka dapat. Seorang ibu yang berkisah kepada saya bahwa setiap hari ia bekerja hingga pagi dan pulang mesti mengurus anak-anaknya yang yang masih sekolah. Sosok seorang ibu yang mengajarkan saya untuk senantiasa survive dalam menyikapi realitas kehiduapan ini. Begitu juga dengan sosok Ibu Maya seorang penjual dawet ireng yang kami temui di samping jalan antara Purworejo-Kebumen. Ia menceritakan pergumulannya yang kurang lebih sama, bahwa ia bersusah payah bekerja menghidupi ketujuh anaknya dengan berjualan dawet. Pergumulannya semakin naik tingkat karena tetangganya yang selalu mencibir dan tak menyukai kehadirannya. Namun satu hal yang membuat saya terkesima dengan ibu berjilbab penuh energik ini adalah kepasrahannya pada Tuhan. Ia percaya akan campur tangan Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini sungguh diyakininya dan baginya dengan berpasrah pertolongan Tuhan pasti ada.
Akhirnya…………
Cerita dari Ibu Maya menutup cerita serta pengalaman
hidup yang saya alami dari realita dunia yang berbicara kepadaku selama lima
hari. Dunia yang coba kucicipi dari berbagai sisi kehidupan. Dunia yang
berkembang begitu cepat dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Budaya instan, budaya manja semakin hidup dan seakan menjadi
superior. Ketidakpedulian dan cinta diri semakin menjadi-jadi dan meraja di
tengah perkembangan zaman yang dinamakan melineal ini. Namun di tengah situasi
demikian, masih ada orang yang mempunyai hati yang terbuka untuk orang-orang
kecil dan sederhana. Masih ada orang yang selalu bersyukur serta berjuang dan
bekerja keras dan mengusahakan yang terbaik dalam hidup ini.
Tidak ada komentar untuk "REALITA DUNIA YANG BERBICARA "
Posting Komentar