Perempuan Kei

(Perempuan Kei Tempoe Doloe)

Hari Kamis 02 Februari 2023, terjadi hal menarik di kota Tual, Maluku Tenggara. Sekumpulan perempuan Kei melakukan long march untuk menyuarakan perdamaian atas konflik yang sementara terjadi di kota Tual. Peristiwa ini sontak menjadi viral di berbagai media sosial dan mendapat beragam tanggapan. Banyak tanggap positif yang mendukung aksi dari perempuan-perempuan Kei dalam menyuarakan perdamaian di kota Tual. Banyak tanggapan yang mengatakan bahwa "kalau biasanya laki-laki Kei berani mati karena saudari perempuannya, maka kini laki-laki Kei harus berdamai karena saudari perempuannya". Pernyataan ini terasa seperti membalikkan peran perempuan Kei ke arah yang lebih positif, namun sebenarnya sudah sejak dahulu peran dan arti perempuan Kei adalah untuk persatuan.

Profesor Yong dalam artikelnya untuk pertemuan Rukun Keluarga Evav di Manado pada 28 Desember 2022, menyebutkan peran penting perempuan Kei yaitu perempuan sebagai pemersatu. Kendati menganut paham paternalistik, namun orang Kei sejak dahulu menempatkan perempuan pada posisi yang istimewa. Misalnya dalam ungkapan yang lazim dalam masyarakat Kei ialah seorang laki-laki berani mati demi saudari perempuannya. Ungkapan ini menempatkan perempuan sebagai kehormatan bagi orang Kei (saudara laki-laki) dan keluhuran yang harus dijaga dan dihormati. Namun di satu sisi ungkapan ini memberi kesan negatif pada sosok perempuan Kei, karena seakan-akan seorang laki-laki Kei dalam tanda kutip akan berusaha melakukan segala-galanya termasuk hal negatif bahkan hingga mati demi saudari perempuannya. Maka penting memahami peran perempuan Kei yang sebenar-benarnya dalam tradisi Kei yang orisinil.

Berangkat dari tradisi perkawinan di Kei, profesor Yong mengangkat peran perempuan Kei sebagai pemersatu. Perkawinan Kei bukanlah peristiwa yang hanya menyatukan kedua mempelai atau keluarga batih kedua mempelai, namun menyatukan keluarga besar atau marga (rahanyam) dari kedua mempelai. Hal ini dikenal dengan mangohoi sebagai pemberi perempuan dan yanur sebagai penerima perempuan. Melalui peristiwa ini terbentuklah relasi kekerabatan yang disebut yanur-mangohoi.[1] Relasi kekerabatan yanur-mangohoi ini terbentuk berkat harta kawin (vat vilin) yang diberikan oleh yanur kepada mangohoi,  vat vilin menjadi simbolisme pengikat tali persaudaraan antara yanur-mangohoi dan relasi kekerabatan ini mengikat yanur-mangohoi hingga pada kematian. Hal ini terlihat dalam praktek kematian atau penguburan di Kei. Pihak mangohoi di sekitar peristiwa kematian. Dalam praktik yang masih berlaku sampai sekarang, pihak mangohoi maduan (keluarga dari ibu si mati) memberikan bakvil baklof matmatan (pakaian untuk dikenakan si mati) dan pihak mangohoi utin (keluarga nenek si mati menurut garis ibu) memberikan buut barit (perlengkapan dan pembungkus peti jenazah si mati).[2]

Dalam dua praktek di atas (perkawinan dan penguburan) di Kei dapat dilihat dengan jelas bahwa peran perempuan Kei atau mangohoi sangatlah vital. Peran perempuan dijadikan semacam landasan moral dan pengikat antar dua pihak (marga, rahanyam). Dalam praktek perkawinan di Kei perempuan pertama-tama ditempatkan sebagai landasan moral karena perempuan dalam arti pasal hukum adat moryain fo mahiling dan rek fo kelmutun, memberikan batasan-batasan tertentu bagi relasi antara laki-laki dan perempuan dan relasi kekerabatan bahkan pergaulan baik ketika belum menikah dan ketika sudah menikah. Perempuan ditempatkan sebagai titik tolak atau pedoman dalam membangun dan bagaimana sebuah relasi itu akan berlangsung. Setalah landasan moral ini diperhatikan dan dipenuhi khususnya oleh yanur, maka perempuan kemudian akan dipandang sebagai pemersatu kekerabatan yanur-mangohoi. Telah disinggung bahwa kekerabatan yanur-mangohoi ini bersifat sangat luas dan dalam. Luas karena relasi ini mengikat hingga generasi ke-9 yang dikenal dalam tali persaudaraan orang Kei (Indonesia dalam kosa katanya hanya mengenal 5 tingkatan relasi). Hal ini menunjukkan bahwa relasi yanur-mangohoi ini mengikat seluas-luasnya keluarga antar kedua mempelai yang dipersatukan dalam perkawinan. Relasi ini kemudian juga mengikat secara mendalam karena terjalin hingga saat kematian anggota dalam lingkup relasi kekerabatan yanur-mangohoi seperti telah dijelaskan di atas.

Melihat peran vital perempuan Kei dalam tradisi adat ini, maka aksi perempuan Kei di kota Tual beberapa waktu ini adalah cerminan dari perempuan Kei yang ideal sekaligus memberikan kesan positif kepada perempuan dalam ungkapan yang lazim dalam masyarakat Kei selama ini. Pergerakan perempuan Kei untuk menyuarakan perdamaian adalah bentuk lain dari upaya mereka untuk mempertegas peran utama mereka sebagai pemersatu dalam tradisi Kei. Mereka menjalankan tugas dan fungsi mereka dengan sangat baik di tengah situasi konflik yang memecah belah persatuan di Kei. Pergerakan ini juga memberikan ungkapan positif baru sebagai antitesis dari ungkapan lazim yang berkonotasi sedikit negatif selama ini, bahwa laki-laki Kei rela menanggalkan keegoisannya untuk perdamaian dan persatuan demi saudari perempuannya. Ungkapan ini terasa lebih positif dan berdampak baik agar membentuk persepktif yang lebih konstruktif dalam masyarakat Kei. Sehingga konflik dengan pola "lama" seperti yang terjadi selama ini dapat diminimalisir dalam masyarakat Kei dengan mengedepankan peranan perempuan Kei dan meningkatkan kesadaran untuk menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Kei sendiri.



[1] Ohoitimur, Johanis. Ain Ni Ain: Paham Persaudaraan orang Kei. Artikel: Perkumpulan Rukun Keluarga Evav di Manado, 28 Desember 2022. Hlm 2.

[2] Ibid. Hlm 3.

Tidak ada komentar untuk "Perempuan Kei "